![]() |
YUDI ARINA
NPM : 13131011020
Dosen Pembimbing :
Prof. Supli Effendi Rahim
PROGRAM PASCA SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BINA HUSADA PALEMBANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Istilah
dan konsep jejak ekologi pertama kali diusulkan pada tahun 1992 oleh William
Rees, seorang profesor di The University of British Columbia, Kanada. Selanjutnya
pada tahun 1996, William Rees dan Mathis Wackernagel menerbitkan Our
Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Jejak ekologi penduduk
mewakili area lahan produksi dan ekosistem akuatik yang dibutuhkan untuk
memproduksi sumberdaya yang diperlukan dan menyerap limbah yang diproduksi
penduduk tertentu terhadap bahan dasar kehidupan secara spesifik dimanapun
lahan itu terletak dipermukaan bumi.
Jejak
ekologi adalah suatu metode penghitungan sumber daya yang memperkirakan
konsumsi sumberdaya alam dan penyerapan limbah yang diperlukan sebuah populasi
manusia atau kegiatan ekonomi dalam bentuk luas lahan area produktif
(Wackernagel and Rees, 1996). Jika yang dikonsumsi lebih banyak dibandingkan
dengan yang disediakan alam, maka kemudian dapat diasumsikan bahwa tingkat
konsumsi tidak dapat didukung oleh ketersediaan di alam. Standar unit pengukuran
jejak ekologi menggunakan global hektar (gha). Satuan gha digunakan karena
asumsi perhitungan jejak ekologi ini, sumberdaya alam yang digunakan berasal
ditempat manapun di permukaan bumi.
Analisis
jejak ekologi digunakan untuk menjawab pertanyaan dasar pada pembangunan
berkelanjutan yaitu : seberapa besar alam yang kita punya, dibandingkan dengan
seberapa besar alam yang kita gunakan (Bond, 2002). Eksploitasi alam bisa dalam
bentuk dan berbagai macam kegiatan, seperti makan, transportasi dan energi.
Besaran area analisis adalah populasi penduduk yang bisa sangat bervariasi,
mulai dari individu atau keluarga, atau melebar mulai dari kota, wilayah,
negara, atau bahkan seluruh bumi. Hasil perhitungan jejak ekologi ini kemudian
dibandingkan dengan biokapasitas yang tersedia. Adapun biokapasitas adalah
total jumlah lahan bioproduktif yang terdapat diwilayah tersebut.
Jejak
ekologi Indonesia pada tahun 2005 adalah 0,95 gha, dengan jejak pertanian 0,5
gha, jejak hutan 0,12 gha, jejak perikanan 0,16 gha, jejak penyerap karbon 0,09
gha dan jejak terbangun 0,06 gha (Globalfootprint Network, 2005). Hasil penelitian
ini menunjukan konsumsi pangan memberikan kontribusi 70% terhadap total jejak
ekologi, yang kemudian diikuti oleh kebutuhan terhadap lahan penyerapan karbon
akibat konsumsi energi. Pada tahun yang sama biokapasitas Indonesia adalah 1,39
gha. Hal ini menunjukan pola konsumsi masyarakat Indonesia termasuk berkelanjutan
karena mengkonsumsi sumberdaya alam lebih sedikit dibandingkan dengan yang
mampu disediakan oleh alam.
Menurut Biocapacity
Project (2007), biokapasitas adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung
keanekaragaman hayati, memproduksi energi dan material biologi yang bermanfaat,
dan menyerap dan mendaur ulang sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia
termasuk emisi/ pancaran karbon. Bioproduktifitas adalah kemampuan sebidang
tanah untuk menghasilkan biomassa, yang merupakan berat (atau diperkirakan
setara dengan) bahan organik, termasuk hewan, tumbuhan dan mikroorganisme (hidup
atau mati) di atas atau di bawah permukaan tanah. Ekosistem yang berbeda akan
memiliki tingkat bioproduktifitas yang berbeda pula. Perbandingan antara jejak
ekologi dan biokapasitas akan memberikan gambaran tentang status jejak ekologi,
apakah defisit atau surplus. Dari perhitungan ini dapat diketahui kemampuan lahan
dalam mendukung konsumsi penduduk setempat.
II. Tujuan
1.
Penulis ingin mengetahui jejak
ekologi seberapa jauh dampak dari lingkungan.
2.
Penulis ingin mengetahui dampak
dari lingkungan akibat dari jejak ekologinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Jejak Ekologi
Pada awal
dipublikasikan pada tahun 1996 oleh Mathis Wackernagel dan William Rees, jejak
ekologi dihitung menggunakan metode compound. Perhitungan ini
menggunakan data sekunder berupa data perdagangan nasional, berupa sumberdaya
biotik dan energi primer yang digunakan untuk menghitung jejak ekologi suatu
negara. Hasil perhitungan jejak ekologi ini disajikan per jenis penggunaan
lahan dalam perhitungan jejak ekologi kemudian dibandingkan dengan kapasitas
biologi per individu yang tersedia dalam negara tersebut. Metode ini lebih
mudah diterapkan karena data yang digunakan lebih mudah didapatkan dan
digunakan sebagai dasar perhitungan jejak ekologi negara di dunia pada
organisasi Globalfootprint Network yang dipimpin oleh Mathis Wackernagel.
Menurut Wackernagel and Rees (1996), konsumsi manusia terhadap
sumberdaya alam dibagi menjadi 5 komponen yaitu makanan, tempat tinggal,
transportasi, barang konsumsi dan jasa. Dari kelima factor ini makanan,
transportasi dan tempat tinggal merupakan penyumbang jejak ekologi yang besar.
Sebaliknya barang dan jasa hanya sedikit menyumbang jejak ekologi. Metode
perhitungan ini memang sangat detil dan fleksibel, namun sulit diaplikasikan secara
menyeluruh karena tidak semua aktifitas dan produk dapat diukur.
Pada
tahun 2000, Chambers et al. mengembangkan perhitungan jejak ekologi menggunakan
metode component. Pada metode ini, jejak ekologi dihitung untuk aktifitas
tertentu menggunakan data yang terkait pada wilayah yang diperhitungkan. Contoh,
untuk menghitung dampak aktifitas perjalanan mobil, data yang digunakan berupa
konsumsi bahan bakar, produksi energi, lahan terbangun dan jarak tempuh (Chambers
et al, 2000 dan Simons, 2004). Luas perhitungan pada tingkat wilayah, yakni
mengacu pada setiap wilayah geografis sub-nasional; sebuah desa, kota, atau wilayah
yang lebih besar. Sama dengan metode compound, metode component juga
menggunakan data sekunder. Hasil perhitungan jejak ekologi melalui pendekatan komponen
adalah jejak ekologi untuk aktivitas tertentu yang dihitung berdasarkan
data yang sesuai dengan pertimbangan
wilayah. Hasil pendekatan berbasis komponen ini lebih bersifat untuk mendidik,
agar dapat memberikan perubahan perilaku indvidu. Keuntungan menggunakan
pendekatan ini adalah validitas perhitungan sampai tingkat lokal dan individu
dan memfasilitasi koleksi data dimana statistic penggunaan sumberdaya alam
detil tidak tersedia. Kerugian metode ini adalah terlalu bergantung pada
intensitas sumberdaya alam pada aktifitas-aktifitas terkait sehingga menjadi
kurang sensitif dalam perubahan teknologi lebih lebih sesuai bila digunakan sebagai
alat monitoring dan pengaturan perubahan perilaku.
Untuk mengukur jejak
ekologis dibuthkan indikator-indikator seperti :
- Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan untuk menumbuhkan semua bahan makanan seperti beras, sayuran, rempah-rempah, buah-buahan, tebu, teh, kopi dan sebagainya.
- Berapa luas lahan pertanian yang digunakan untuk peternakan seperti rumput, jagung dan kacang kedelai untuk menghasilkan daging, telur, kulit dan sebagainya.
- Berapa luas lahan pertanian yang dibutuhkan untuk menumbuhkan serat-serat seperti kapuk, linen, katun, dan murbai untuk bisa menghasilkan pakaian dari kain katun, kain linen, kain sutra dan sebagainya.
- Berapa luas danau dan laut untuk menghasilkan ikan yang dimakan.
- Berapa luas lahan yang digunakan untuk membangun gedung dan jaringan infrastruktur termasuk bahan bangunan seperti pasir, kerikil, batu alam dan sebagainya.
- Berapa luas hutan untuk menghasilkan kayu yang dibutuhkan dan hutan yang diperlukan untuk mengikat CO2 yang terjadi oleh pembakaran minyak bumi dan gas.
Metode
yang ketiga adalah pengukuran langsung atau bottom up measurement.
Metode ini digunakan untuk menghitung jejak ekologi individu, rumah tangga,
perusahaan atau organisasi (Bond, 2002). Karena struktur metode yang refleksif
maka keunggulan metode ini sebagai self-learning tool terhadap orang
yang dihitung jejak ekologinya.
Menurut
Kitzes et al. (2007), perhitungan jejak ekologi nasional digunakan untuk
melaporkan hasil perhitungan jejak ekologi dalam satuan global hektar pada tahun
bersangkutan, yaitu hektar dengan produktivitas biologis rata-rata dunia dalam suatu
tahun. Normalisasi ini dicapai menggunakan perhitungan faktor produksi (yield
factor) dan faktor kesetaraan (equivalent factor). Yield faktor adalah
produktifitas negara tertentu dibandingkan dengan produktifitas dunia. Equivalent
factor adalah perbandingan potensi produktivitas suatu jenis penggunaan
lahan dengan produktfitas rata-rata penggunaan lahan dalam perhitungan jejak
ekologi. Dari perspektif pemanfaatan berkelanjutan, tanah yang berbeda tidak
dapat secara langsung dibandingkan atau disimpulkan tanpa menerapkan beberapa
bentuk pembobotan produktivitas (Wackernagel et al., 2004). Satuan
global hektar digunakan untuk menjawab pertanyaan berapa banyak kapasitas
regeneratif planet digunakan oleh aktivitas manusia tertentu atau populasi
(Monfreda (2004) in Kitzes et al. (2007)). Jadi skala global
hektar lebih tepat bila digunakan untuk mengetahui mengetahui konsumsi penduduk
dunia perkapita dibandingkan dengan kapasitas yang mampu disediakan oleh bumi.
Pendekatan global hektar merekam permintaan sumberdaya alam lokal dalam konteks
global dan berguna untuk membandingkan jejak ekologi antara area geografis.
Pada
makalah yang sama, Kitzes et al. (2007) menyatakan perhitungan jejak ekologi
juga dapat dihitung dalam hektar lokal, tanpa menerapkan produktivitas berbasis
normalisasi. Jejak ekologi yang dihitung dalam hektar lokal digunakan untuk menjawab
pertanyaan berapa banyak daerah bioproduktif yang digunakan oleh suatu kegiatan
manusia atau populasi (Wackernagel et al. (2004) in Kitzes et
al. (2007)). Jejak ekologi hektar lokal dapat ditentukan melalui 2 cara
yaitu : 1) melalui pendekatan wilayah yang diukur, yaitu didasarkan pada
pengukuran penggunaan lahan dalam laporan statistik nasional atau berasal dari
aplikasi penginderaan jarak
jauh, 2) melalui pendekatan wilayah
yang dihitung, yang didapat dengan cara membagi produk aliran (konsumsi) dengan
hasil panen lokal (Kitzes et al., 2007). Karena pendekatan wilayah yang
diukur tidak melibatkan perbandingan pertumbuhan tahunan untuk ekstraksi,
metode ini sendiri tidak dapat menunjukkan tingkat penggunaan kawasan tertentu.
Misalnya, satu hektar hutan bisa dipanen pada tingkat yang lebih besar atau
lebih kecil dari pertumbuhan tahunan dan pendekatan wilayah yang diukur akan
menggunakan jejak ekologi yang sama dari satu hektar. Tidak ada perbedaan
perhitungan menggunakan pendekatan antara wilayah diukur dan pendekatan untuk
lahan pertanian sehingga jumlah produk yang tumbuh dan diekstraksi setiap tahun
adalah sama. Penggunaan satuan lokal hektar ini lebih tepat diterapkan pada
penelitian yang fokus pada pengelolaan sumberdaya alam lokal dan hanya dapat
digunakan pada waktu sementara. Sementara beberapa peneliti berpendapat bahwa
hanya hektar lokal memberikan ukuran pengamatan permintaan yang sebenarnya.
Kelebihan
konsep jejak ekologi adalah konsep ini memperhitungkan aliran sumber daya dan
limbah, yang semuanya membentuk bagian dari metabolisme suatu daerah, sehingga
menggugah kesadaran konsumen tentang darimana sumber daya mereka berasal dan
dampak limbah yang dihasilkan. Hal ini akan membantu dalammeningkatkan
kesadaran masyarakat dalam agar membentuk pola perilaku yang lebih berkelanjutan.
Selain itu jejak ekologi bisa digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan
berkelanjutan, dipandang sebagai perkembangan positif dalam analisis kebijakan.
Wackernagel
and Rees (1996) mengembangkan konsep jejak ekologi ini melalui
pendekatan compound. Pendekatan ini lebih menekankan pada apa yang dikonsumsi
oleh manusia, seperti konsumsi biotik (pangan) dan konsumsi energy primer,
bukan dari jenis-jenis kegiatan konsumsinya. Pendekatan compound ini digunakan
sebagai dasar perhitungan pada Globalfootprint network.
Pada
laporan Globalfootprint network (2005) yang ditulis oleh Wackernagel at al.,
The ecological power of nations : the earth’s biocapacity as a new framework
for international cooperation menunjukan jika telah terjadi pertumbuhan
jejak ekologi yang cukup signifikan sejak tahun 1961 sampai dengan tahun 2005.
Pada tahun 1961, manusia mengunakan setengah dari kapasitas produksi secara
hayati bumi, namun pada tahun 2005 manusia menggunakan kapasitas produksi
hayati bumi 35 % lebih banyak dari pada yang tersedia. Perhitungan jejak
ekologi ini mengabaikan hak mahluk hidup selain manusia (earth share). Kapasitas
produksi secara hayati bumi bagi individu di bumi pada tahun 2005 adalah
sekitar 2,1 gha, sedangkan jejak ekologi per kapita pada tahun 2005 adalah 1,8
gha. Sementara ekonomi, populasi dan kebutuhan sumber tumbuh, ukuran planet
tetap sama. Ini berarti semakin berkurangnya modal alami dan semakin banyak
sampah yang ada di alam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa makin maju
sebuah negara maka semakin besar pula jejak ekologinya sebagai berikut.
Jejak ekologis (Ecological Footprint) dapat digunakan sebagai ukuran prestasi kita
dalam mendukung keberlanjutan bumi ini, dan menjadi indikator terbaik dan
efisien dalam mendukung keberlanjutan kehidupan. Alat ukur ini menjadi penting
dalam konteks untuk mengetahui apakah kegiatan konsumsi yang kita lakukan masih
dalam batas daya dukung lingkungan ataukah sudah melewatinya, dengan kata lain
masih dalam surplus ataukah sudah dalam defisit (penurunan kualitas)
ekologi.
Tabel 2.1 Jejak ekologi per kapita 5
negara dengan jumlah terbesar di dunia tahun 2005 (gha)
Negara
|
Lahan
pertan
ian
|
Lahan
peng
gemba
laan
|
Lahan
hutan
|
Lahan
perika
nan
|
Lahan
penyera
pan
karbon
|
Lahan
terbangun
|
Total
jejak
ekologi
|
Bioka
pasitas
|
Status
|
Uni
Emirat
Arab
|
1,03
|
0,03
|
0,37
|
0,21
|
7,82
|
0,00
|
9,46
|
1,08
|
-8,38
|
Amerika
|
1,38
|
0,30
|
1,02
|
0,10
|
6,51
|
0,10
|
9,42
|
5,02
|
-4,4
|
Kuwait
|
0,71
|
0,10
|
0,17
|
0,02
|
7,75
|
0,15
|
8,89
|
0,53
|
-8,36
|
Denmark
|
2,49
|
0,01
|
1,00
|
0,67
|
3,53
|
0,34
|
8,05
|
5,70
|
-2,35
|
Australia
|
1,93
|
2,82
|
0,94
|
0,08
|
1,98
|
0,06
|
7,81
|
15,42
|
7,61
|
Sumber : Globalfootprint Network,
2005
Tabel 2.2 Jejak ekologi perkapita 5
negara dengan jumlah terkecil di dunia tahun 2005 (gha)
Negara
|
Lahan
pertan
ian
|
Lahan
peng
gemba
laan
|
Lahan
hutan
|
Lahan
perika
nan
|
Lahan
penyera
pan
karbon
|
Lahan
terbangun
|
Total
jejak
ekologi
|
Bioka
pasitas
|
Status
|
Bangladesh
|
0,33
|
0,00
|
0,07
|
0,07
|
0,13
|
0,04
|
0,57
|
0,25
|
-0,32
|
Congo
|
0,2
|
4 0,03
|
0,11
|
0,11
|
0,07
|
0,05
|
0,54
|
13,89
|
13,35
|
Haiti
|
0,31
|
0,04
|
0,09
|
0,09
|
0,06
|
0,03
|
0,53
|
0,26
|
-0,27
|
Afganistan
|
0,27
|
0,10
|
0,05
|
0,05
|
0,00
|
0,06
|
0,48
|
0,73
|
0,25
|
Malawi
|
0,21
|
0,00
|
0,15
|
0,15
|
0,07
|
0,03
|
0,47
|
0,47
|
0
|
Sumber : Globalfootprint Network,
2005
II. Perhitungan Jejak Ekologi
Perhitungan
jejak ekologi (ecological footprint) didasarkan pada enam asumsi dasar
(Wackernagel et al., 2002 in Wackernagel et al., 2008)
yaitu:
1.
Sebagian besar konsumsi sumber
daya dan limbah yang dihasilkan manusia dapat dilacak.
2.
Kebanyakan aliran sumberdaya
alam dan limbah dapat dihitung kedalam area biologi produktif untuk menelusuri
alirannya. Sumberdaya alam dan limbah yang tidak dapat dihitung dikeluarkan dari
penilaian, yang menjadikan hasil perhitungan jejak ekologi ini dibawah keadaan
yang sebenarnya.
3.
Dengan pembobotan masing-masing
daerah kedalam proporsi produktifitas biologi yang digunakan, area yang berbeda
dapat dikonversi ke dalam satuan umum global hektar, yaitu hektar dengan
rata-rata produktifitas biologi dunia.
4.
Karena satuan global hektar
tunggal menyatakan satu jenis penggunaan, dan semua global hektar pada satu
tahun menyatakan jumlah produktifitas yang sama, maka global hektar dapat
dijumlahkan untuk mendapatkan indikator agregat jejak ekologi atau daya dukung
lingkungan.
5.
Permintaan manusia, dinyatakan
sebagai jejak ekologi, dapat secara langsung dibandingkan dengan pasokan alam,
daya dukung lingkungan, ketika keduanya sama-sama dinyatakan dalam global
hektar.
6.
Luas area permintaan dapat
melebihi luas area yang disediakan jika permintaan pada ekosistem melebihi
kapasitas regeneratif ekosistem (misalnya, manusia menuntut lebih dibandingkan
daya dukung hutan, perikanan, dari ekosistem yang telah tersedia). Situasi ini,
di mana jejak ekologi melebihi tersedia daya dukung lingkungan, dikenal sebagai
overshoot.
Dalam
perhitungan jejak ekologi, daratan dan lautan produktif digolongkan menjadi
tujuh jenis type dasar (Chambers et al., 2000).
1.
Lahan pertanian, adalah lahan
yang paling produktif secara hayati dibandingkan dengan semua jenis penggunaan
lahan. Digunakan untuk menghasilkan semua produk tanaman, tanaman sawit dan
karet.
2.
Lahan penggembalaan, adalah
padang rumput dan tanah dan pepohonan jarang yang digunakan untuk menghasilkan
pakan ternak.
3.
Lahan hutan, adalah hutan alami
atau hutan tanam yang bisa menghasilkan produk kayu bulat maupun kayu bakar.
4.
Lahan perikanan, merupakan
daerah tangkapan komersil yang sekitar 300 km dari pantai karena daerah pesisir
merupakan daerah laut yang paling produktif.
5.
Lahan penyerap karbon,
merupakan lahan hutan yang diperlukan untuk penyerapan emisi karbon yang
dihasilkan manusia.
6.
Lahan terbangun, adalah lahan
yang dihitung berdasarkan luas tanah yang ditutupi oleh infrastruktur,
transportasi, perumahan, struktur industri dan waduk untuk pembangkit tenaga
listrik listrik. Dengan asumsi bahwa apa yang dibangun akan menempati lahan
yang sebelumnya merupakan lahan pertanian, kecuali kita memiliki bukti spesifik
bahwa asumsi ini tidak berlaku. Asumsi ini didasarkan pada pengamatan bahwa
pemukiman manusia yang umumnya terletak di daerah yang sangat subur dengan
potensi untuk menghasilkan lahan pertanian unggulan (Wackernagel et al., 2002).
Tanah terbangun memiliki produktifitas secara hayati setara dengan jejak
ekologi karena keduanya menjelaskan perambahan lahan produktif secara hayati
oleh infrastruktur fisik.
7.
Lahan keanekaragaman hayati,
adalah digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup spesies selain manusia, yang
besarnya 12 persen dari total lahan dunia.
Perhitungan
jejak ekologi dibagi menjadi 3 tahap utama. Jejak ekologi individu dihitung
berdasarkan semua material biologi yang dikonsumsi dan semua sampah biologi
yang dihasilkan oleh tiap individu. Dan untuk menghitung jejak ekologi suatu
daerah diperoleh dengan cara menjumlahkan jejak ekologi semua penduduk di
daerah tersebut (Chambers et al., 2000).
Tahap
pertama adalah analisis konsumsi sumberdaya biotik (pangan) dengan cara
menambahkan produksi dan impor lalu dikurangi dengan ekspor. Alternatif lain dengan
cara menggunakan data konsumsi penduduk yang didapat secara primer. Jika diperlukan,
penyesuaian dilakukan untuk menghindari perhitungan dobel tipe lahan. Contoh,
pakan ternak berupa biji-bijian dimasukan dalam perhitungan lahan pertanian tidak
pada lahan rumput penggembalaan. Perhitungan luas lahan yang dibutuhkan untuk
konsumsi pangan didapat dengan cara membagi jumlah pangan yang dikonsumsi per
tahun (ton) dengan produksi tipe lahan atau laut tertentu per tahun (ton per
hektar) dari tempat asal panen.
Langkah
ke dua menentukan luas jejak ekologi dari sampah yang dihasilkan. Dari
perspektif jejak ekologi ada 3 kategori sampah dan masing-masing kategori berbeda
penanganannya dalam jejak ekologi.
Kategori
pertama adalah sampah biologi seperti sisa produk pertanian, produk hewan,
produk ikan, kayu dan karbon dioksida yang dihasilkan oleh kayu bakar dan pembakaran
bahan bakar fosil sudah termasuk didalam secara implisit dalam jejak ekologi
jika sampah ini dihasilkan didalam suatu proses biologi tertutup. Contoh, lahan
penggembalaan sapi seluas 1 hektar mampu menghasilkan produksi biomassa dan
untuk menyerap sampah biologi yang dihasilkan. Penyerapan sampah yang dihasilkan
dari material biologi yang dipanen tidak dihitung dalam jejak ekologi. Begitu
pula dengan CO2 yang dihasilkan oleh tumbuhan dan pernafasan manusia, karena
sampah ini dihasilkan dalam suatu proses biologi tertutup. Namun CO2 yang
dihasilkan oleh akibat pembakaran
kayu bakar ataupun bahan bakar fosil dihitung karena sampah ini dihasilkan oleh
aktifitas non biologi manusia. Adapun lahan yang dibutuhkan untuk menyerap
sampah CO2 ini disebut dengan lahan penyerap karbon. Kemampuan rata-rata hutan
dalam penyerapan karbon dan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan adalah data dasar
yang dibutuhkan dalam perhitungan lahan penyerap karbon. Pada perhitungan lahan
penyerap karbon tingkat lokal, maka kemampuan rata-rata peyerapan karbon hutan
tergantung pada jenis ekosistem hutan lokal (Scotti et al., 2007). Hutan
alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem
penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi,
dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak.
Kategori
sampah yang ke dua adalah material yang secara khusus dikirim pada suatu lahan.
Jika lahan yang digunakan adalah lahan produktif, maka jejak lahan ini dihitung
sebagai lahan terbangun yang dipakai sebagai tempat penyimpanan sampah jangka
panjang. Contohnya adalah tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Kategori
sampah yang ke tiga adalah polutan dan racun yang tidak bisa diserap ataupun
diuraikan oleh proses biologi seperti plastik atau senyawa kimia. Karena jejak
ekologi menghitung lahan produktif yang digunakan untuk memproduksi materi atau
menyerap sampah, materi seperti plastik dan senyawa kimia tidak dihasilkan oleh
proses biologi atau diserap oleh sistem biologi, maka sampah jenis ini tidak
terdefinisi dalam jejak ekologi. Sehingga sampah ini tidak masuk dalam
perhitungan jejak ekologi.
Tahap
terakhir perhitungan adalah menjumlahkan jejak ekologi kedalam enam tipe lahan
yang merupakan gambaran konsumsi per kapita. Data per kapita yang dikalikan
dengan jumlah penduduk suatu daerah menggambarkan jejak ekologi daerah
tersebut. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas lahan yang ada.
III. Perhitungan Jejak Makanan (food footprint)
Jejak
makanan merupakan salah satu bagian dari jejak ekologi sehingga perhitungan
jejak makanan juga mengacu pada konsep perhitungan pada jejak ekologi. Jenis
lahan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah 7 jenis penggunaan lahan pada
perhitungan jejak ekologi.
Pada
perhitungan jejak makanan, kebutuhan lahan diperoleh dari total luas tiap jenis
lahan yang dibutuhkan sejak pangan itu diproduksi, diangkut hingga sampai ke
tangan konsumen. Contoh bila penduduk mengkonsumsi beras yang diproduksi dari
luar wilayah, maka perhitungan jejak makanan meliputi luas lahan sawah untuk menghasilkan
beras, lahan penyerap karbon untuk menyerap emisi CO2 dari proses transportasi
dan lahan terbangun untuk konstruksi jalan. Semakin jauh sumber produksi ke
konsumen maka semakin besar jejak ekologi yang ditimbulkan, yang artinya
semakin banyak pula sumberdaya alam yang kita gunakan. Hasil perhitungan metode
jejak ekologi ini kemudian dibandingkan dengan biokapasitas yang ada untuk mengetahui
status penggunaan sumberdaya alam oleh manusia, apakah defisit atau surplus.
Pada
perhitungan jejak makanan, konsumsi pangan hewani akan memberikan jejak makanan
yang lebih luas dibandingkan dengan konsumsi pangan nabati. Perkiraan jejak
makanan ini didasarkan pada biaya metode produksi makanan modern, diantaranya :
biaya penanaman tanaman (rumput) dan area/lahan yang digunakan, pupuk
petrokimia yang digunakan, pengendalian hama menggunakan pestisida, biaya
pengemasan dan biaya pengiriman. Semakin jauh lokasi pangan berasal dengan
konsumen, maka bahan bakar yang digunakan semakin banyak dan menghasilkan emisi
karbon yang semakin besar.
Langkah
pertama dalam perhitungan lahan produktif dalam pemenuhan konsumsi pangan
adalah menghitung rata-rata konsumsi pangan individu tahunan dari data konsumsi
regional dan membaginya dengan jumlah populasi di daerah tersebut (Chambers et
al., 2000). Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengukuran
data konsumsi rumah tangga atau individu langsung menggunakan metode survei
(Bond, 2002 dan Rumbiyanti, 2009). Dari hasil perhitungan konsumsi individu,
dapat digunakan untuk menghitung konsumsi pangan suatu wilayah dengan cara
mengalikannya dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut (Scotti et al.,
2008).
Langkah
kedua perhitungan jejak makanan adalah mengkonversi konsumsi pangan menjadi
satuan lahan yang dipeoleh dengan cara membagi jumlah konsumsi masing-masing
jenis pangan dibagi rata-rata hasil produksi pangan tahunan di daerah asal
pangan tersebut. Contoh, bila beras yang dikonsumsi di Kabupaten Bangka Tengah
berasal dari Provinsi Jawa Barat, maka data produksi beras yang digunakan adalah
data produksi beras dari daerah tersebut.
Sedangkan
untuk perhitungan produk pangan turunan yang telah berubah dari bentuk panen
awal seperti beras, gula, kecap, roti dan pangan lainnya harus diketahui terlebih
dahulu komposisi jenis dan berat bahan pembentuknya (Wackernagel at. al, 2005).
Konversi kebutuhan lahan untuk pangan turunan didapat dengan cara mengalikan
jumlah pangan turunan yang dikonsumsi dengan fraksi produk (randemen). Kemudian
baru dihitung jumlah lahan yang diperlukan dengan cara membagi jumlah bahan primer
yang diperlukan dengan produktifitas jenis bahan pangan tersebut.
IV. Konsumsi Pangan
Menurut
Wackernagel et al. (2000) menyatakan bahwa jejak ekologi sangat tergantung
pada pendapatan, harga barang, nilai-nilai sosial yang dianut pribadi dan masyarakat,
yang kemudian akan mempengaruhi konsumsi. Konsumsi pangan pada masyarakat
dipengaruhi oleh banyak faktor. Konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai
jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang dan
merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Harper dkk. (2006)
menyatakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan di mana saja
adalah: 1) ketersediaan pangan; 2) tingkat pendapatan; dan 3) pengetahuan gizi.
Selain itu penelitian Suhaimi tahun 2006 terhadap penduduk asli di Kabupaten
Kutai dalam Nugrahanto (2009)
menunjukan faktor sosial, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi konsumsi
menunjukkan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
pengetahuan pangan dan gizi ibu, sedangkan ukuran keluarga dan pendidikan
kepala keluarga tidak berpengaruh secara signifikan. Sedangkan faktor budaya
yang berpengaruh secara signifikan yaitu : pola konsumsi pangan, kesukaan
terhadap bahan pangan, pantangan makan, dan status dalam keluarga. Faktor
ekonomi yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan yaitu tingkat pendapatan juga
berpengaruh signifikan terhadap konsumsi pangan rumah tangga.
Gaya
hidup juga merupakan faktor yang ber-hubungan dengan perilaku makan, seperti
model yang dikemukakan oleh Pelto (1980) bahwa perilaku makan ditentukan oleh
gaya hidup selain pengaruh sistem produksi dan distribusi pangan serta sistem
sosial ekonomi. Adapun gaya hidup tersebut merupakan hasil pengaruh beragam
fak-tor yaitu pendapatan, pekerjaan, pendidikan, etnik, tempat tinggal, agama,
pengetahuan kesehatan dan gizi serta karakteristik fisiologis. Dari uraian di atas
tampak jelas bahwa pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan
penduduk. Meskipun demikian, pengaruh positif pengetahuan gizi terhadap keragaman
konsumsi pangan dapat berubah atau ditiadakan oleh faktor daya beli atau
ekonomi, ketersediaan waktu untuk
membeli atau menyiapkan makanan, kepercayaan, kesukaan pangan dan, ketersediaan
pangan.
Keragaman
konsumsi pangan di tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan ciri-ciri
demografis, aspek sosial, ekonomi serta potensi sumberdaya alam setempat.
Akibat perbedaan tersebut dan kendala distribusi antar daerah, pola konsumsi
antar daerah akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah yang lain, bahkan
antar perkotaan dan perdesaan (Sayekti, 2008). Selain itu terdapat dugaan bahwa
pola konsumsi sangat berkaitan dengan pola produksi setempat. Hasil
penelitian Sayekti (2008) menunjukan
bahwa konsumsi beras lebih tinggi diwilayah perdesaan dibandingkan dengan
perkotaan, sedangkan untuk konsumsi pangan hewani lebih besar pada perkotaan
dibandingkan perdesan.
A. Pengaruh karakteristik tempat tinggal terhadap konsumsi pangan
Komunitas sosial manusia secara umum sering dikategorikan menjadi 2 bagian,
yaitu komunitas perdesaan dan komunitas perkotaan. Pembagian kategori ini umumnya
didasarkan atas jumlah penduduk dan pekerjaannya (Horton et al., 1984). Walaupun
sebenarnya pembagian ini tidak akan tidak akan memuaskan, karena tidak mencakup
komunitas-komunitas lainnya seperti tempat dagang atau kamp tambang. Transportasi
modern yang telah membuat batas kota dan desa menjadi kurang jelas sehingga
mengakibatkan perbedaan antara perdesaan perkotaan semakin sedikit.
1. Perkotaan
Adapun definisi kota menurut Max Weber adalah tempat yang
penghuninya sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar
setempat yang barang-barangnya berasal dari pedesaan. Sedangkan menurut
Bintarto, kota adalah sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar
dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistik dibanding
dengan daerah belakangnya. Adapun ciri-ciri fisik kota ditandai adanya : 1)
tempat-tempat untuk pasar; 2) tempat - tempat untuk parker; 3) tempat-tempat
rekreasi dan olahraga. Sedangkan ciri-ciri sosial kota adalah : 1) pembagian
kerja tegas; 2) masyarakatnya heterogen; 3) individualism; 4) materialisme dan
konsumerisme; 5) adanya toleransi sosial.
Definisi perkotaan menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah Kawasan Perkotaan, adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi. Sedangkan menurut Kepmendagri Nomor 65 Tahun 1999 tentang
Pedoman Umum Mengenai Pembentukan Kelurahan, kelurahan dibentuk di kawasan
perkotaan dengan memperhatikan persyaratan luas wilayah, jumlah penduduk,
potensi dan kondisi sosial budaya masyarakat.
Adapun ciri-ciri suatu kota sesuai dengan Inmendagri Nomor 7 tahun
1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia adalah sebagai
berikut :
2. Fisik
Ciri-ciri
aspek fisik wilayah kota adalah sebagai berikut:
a.
Tempat pemukiman penduduk yang
merupakan satu kesatuan dengan luas, jumlah bangunan, kepadatan bangunan yang
relatif lebih tinggi dari pada wilayah sekitarnya;
b.
Proporsi bangunan permanen
lebih besar ditempat itu dari pada diwilayah sekitarnya;
c.
Mempunyai lebih banyak bangunan
fasilitas sosial – ekonomi ( sekolah, poliklinik, pasar, toko, kantor
pemerintah ,dll ) dari pada wilayah sekitarnya.
3. Sosial Ekonomi
Ciri–ciri
wilayah kota berdasarkan aspek–aspek sosial ekonomi adalah sebagai berikut :
a.
Mempunyai kepadatan penduduk
yang relatif lebih besar dari pada wilayah sekitarnya, yang dalam satu kesatuan
areal terbangun berjumlah sekurang - kurangnya 20.000 orang dipulau jawa,
madura, dan bali, atau 10.000 di luar pulau–pulau tersebut;
b.
Mempunyai kepadatan penduduk
yang relatif lebih tinggi dari wilayah sekitarnya;
c.
Mempunyai proporsi jumlah
penduduk yang berkerja disektor non pertanian, seperti : Pemerintahan,
perdagangan, industri , jasa dan lain – lain, yang lebih tinggi dari wilayah
sekitarnya;
d.
Merupakan pusat kegiatan
ekonomi yang menghubungkan kegiatan pertanian wilayah sekitarnya dan tempat
pemasaran atau prosessing bahan baku untuk kegiatan industri.
4. Perdesaan
Definisi desa menurut Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada
di Daerah Kabupaten.
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal
untuk desa-desa di Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu
dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan
Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas
sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun,
bagi daerah yang belum berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan
Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.
Adapun
ciri-ciri sosial desa adalah sebagai berikut :
a)
Mempunyai pergaulan hidup yang
saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.
b)
Ada pertalian perasaan yang
sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan .
c)
Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris
yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam
,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat
sambilan.
Masing-masing karakteristik daerah ini akan menyebabkan perbedaan
pola konsumsi yang berbeda pula. Keragaman konsumsi pangan yang menunjukkan perbedaan
antara masyarakat perdesaan dan perkotaan ditunjukan dalam penelitian Nugrahanto
(2009) pada kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah perkotaan konsumsi
pangan cukup beragam, dari beras, terigu dan sayur mayur. Konsumsi karbohidrat
padi-padian terutama beras di wilayah perkotaan lebih tinggi daripadawilayah
pedesaan, karena masyarakat didaerah pedesaan juga mengkonsumsi jagung sebagai
makanan pokoknya. Perbedaan ini sebabkan oleh rendahnya daya beli, akses terhadap
pasar yang relatif jauh juga semakin mendorong masyarakat lebih mengandalkan
hasil lahan sendiri baik untuk makanan pokok maupun bahan makanan sayur mayur
dan buah (Nugrahanto, 2009). Hal ini menunjukkan pola konsumsi pada rumah tangga
yang berpendapatan rendah lebih mengarah pada pangan pokok yang berbasis
potensi lokal dan variasi pangan kurang mendapat perhatian. Hasil senada ditunjukan
pula oleh penelitian Wood et al. (2008) di Australia utara. Populasi penelitian
diklasifikasikan berdasarkan jarak dengan pusat kota untuk mendeliniasi batasan
antara penduduk pribumi dan penduduk non-pribumi.
Tingkat konsumsi dipengaruhi juga oleh pola makan atau kebiasaan
makan.Pola makan di pedesaan belum banyak terpengaruh pola makannya dibandingkan
dengan pola makan di perkotaan. Pada akhirnya kecukupan asupan makan di kota baik
kualitas maupun kuantitas lebih baik daripada kecukupan asupan makan di desa.
Pola konsumsi masyarakat di perdesaan dan di perkotaan berbeda,
karena masyarakat di kota lebih mementingkan kandungan zat gizi makanan dari
bahan makanan yang dikonsumsi dilihat dari keadaan sosial ekonomi penduduk
lebih mampu, tersedianya fasilitas kesehatan memadai, fasilitas pendidikan
lebih baik, tersedianya tenaga kesehatan, serta lapangan usaha mayoritas
penduduk pegawai dan wiraswasta. Sedangkan di desa, pola konsumsi masyarakat
kurang memenuhi syarat dilihat dari keadaan sosial ekonomi yang tidak mampu,
fasilitas kesehatan yang terbatas, fasilitas pendidikan kurang, tersedianya
tenaga kesehatan serta lapangan kerja penduduk mayoritas petani dan buruh (BPS,
1994).
B. Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi pangan
Data SUSENAS tahun 2004, menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga berhubungan
dengan asupan total kalori dan asupan kalori dari kelompok pangan utama.
Semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin tinggi asupan kalori dari
kelompok pangan hewani, sayur dan buah-buahan. Hal tersebut mengimplikasikan
bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi kemungkinan untuk mengonsumsi
beragam jenis pangan. Rumah tangga sebagai satuan/unit primer penghasil
pendapatan juga merupakan unit primer konsumsi pangan. Semakin tinggi
pendapatan rumahtangga maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang
dialokasikan untuk pangan. Tabel 2.3 menunjukkan perbedaan tingkat konsumsi
energi dan protein masyarakat antar kelompok pendapatan dengan kecenderungan
semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya.
Tabel 2.3
Konsumsi energi makanan dan protein menurut kelompok pendapatan
Kelompok pendapatan
(Rp/kap/ bulan)
|
Penduduk
(%)
|
Energi
(Kal/kap/hari)
|
Protein
(gram/kap/hari)
|
I < 60.000
|
0,72
|
1. 240,9
|
31,5
|
II = 60.000 – 79.999
|
3,45
|
1.452,0
|
28,0
|
III = 80.000 – 99.999
|
7,80
|
1.627,6
|
37,5
|
IV = 100.000 – 149. 999
|
23,17
|
1.794,9
|
43,3
|
V = 150.000 – 199. 999
|
21,47
|
1.983,4
|
49,4
|
VI = 200.000 – 299. 999
|
22,82
|
2.126,8
|
54,6
|
VII = 300.000 – 499. 999
|
14,01
|
2.253,1
|
62,2
|
VIII > 500.000
|
6,57
|
2.398,0
|
72,9
|
Sumber : Susenas 2004 BPS
Hardinsyah (2007) melakukan review terhadap berbagai faktor
yang menjadi penentu keragaman konsumsi pangan yang mencakup faktor pengetahuan
gizi, sosio demografi dan ekonomi. Dari berbagai penelitian yang direview terdapat
lima lima faktor yang diduga merupakan penentu penting keragaman konsumsi
pangan yaitu daya beli pangan, pengetahuan gizi, waktu yang tersedia untuk
pengelolaan pangan, kesukaan pangan dan ketersediaan pangan.
Hal senada juga ditunjukan oleh Sayekti (2008), semakin tinggi
pendapatan maka semakin rendah konsumsi pangan sumber karbohidrat padi-padian
dan semakin tinggi konsumsi sumber protein hewani daging, telur, susu serta
makanan dan minuman jadi.
C. Pengaruh pendidikan terhadap konsumsi pangan
Pola konsumsi pangan juga tergantung dengan tingkat pendidikan
anggota rumah tangga. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan formal penduduk
menyebabkan meningkatnya pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas pangan
yang dikonsumsi. Hal ini akan menyebabkan semakin bervariasinya pangan yang
dikonsumsi sehingga kebutuhan gizi dan kesehatan akan menjadi lebih baik.
Menurut Riyadi (2003) dalam Suyastiri (2008), semakin tinggi tingkat
pendidikan dan pengetahuan seseorang umumnya semakin tinggi pula kesadaran untuk
memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi sertaselektif
dalam kaitannya tentang ketahanan pangan. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi
konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi
cenderung memilih makanan yang lebih baik dalamjumlah dan mutunya dibandingkan
mereka yang berpendidikan lebih rendah. Pendidikan sangat mempengaruhi
kemampuan penerimaan informasi gizi yang disampaikan kepadanya. Tingkat
pendidikan yang sangat rendah menghambat penerimaan informasi baru. Tingkat
pendidikan formal umumnya mencerminkan kemampuan seseorang untuk memahami berbagai
aspek pengetahuan, termasuk pengetahuan gizi.
Semakin tinggi pendidikan seseorang, umumnya akses terhadap media
massa juga makin tinggi yang juga berarti aksesnya terhadap informasi yang
berkaitan dengan gizi juga semakin tinggi. Wanita terpelajar cenderung untuk
tertarik terhadap informasi gizi dan banyak di antara mereka yang memperoleh
informasi tersebut dari media cetak, khususnya majalah dan koran (Hickman et
al., 1993 dalam Hardiansyah, 2007).
V. Jejak Ekologi Pada Diri Pribadi
Jejak ekologi adalah satu sistem yang menguk seberapa banyak tanah
dan air yang diperlukan populasi manusia untuk menghasilkan sumber yang mereka
habiskan dan menyerap limbah yang dihasilkannya. (Wackernagel
& Rees, 1996)
Lembar kerja berikut adalah perhitungan kasar yg
menunjukkan seberapa besar jejak ekologi
anda dan bagaiman pilihan yg anda
buat menjadikan jejak ekologis anda
menyusut atau meluas.
JEJAK EKOLOGIS SAYA
Dalam kehidupan sehari-hari setiap hal yang saya lakukan
tanpa disadari telah menorehkan atau meninggalkan jejak ekologis (Ecological Footprint).
A. Transportasi
1. Dengan apa saya
bepergian hari ini?
a. Berjalan…..0
b. Bersepeda…..5
c. Dengan
Angkutan Umum… 10
d. Menumpang.....15
e. Kendaraan Pribadi ….3x 30
(Kalikan setiap skor dengan berapa
sering metode tsb dipakai dalam satu hari dan kemudian di total.)
Nilaiku 3 x 30 =
90
Sub-Total: 90
B. Penggunaan
Air
1. Seberapa
banyak air yang digunakan?
a)
Tidak mandi….0
b)
Mandi, 1-2 menit. ….5
c)
Mandi, 3-6 menit…. 2 x 10
d)
Mandi, 10 min ….
20
e)
Mandi dengan air setengah bath tub….10
f)
Mandi dengan air bekas orang lain….10
g)
Menggosok gigi dg air kran tetap mengucur….5
h)
Mencukur kumis/jenggot dengan air kran tetap
mengucur….5
Nilaiku 2 x 10
Sub-Total: 20
C. Berpakaian
1. Saya
menggunakan pakaian lebih dari sekali sebelum di cuci?
a)
Sering….0
b) Kadang-kadang….1x 5
c)
Tidak pernah….10
2. Saya
menggunakan pakaian bekas (yg diperbaiki)
a)
iya….(-5) b) tidak….0
3. Saya
memperbaiki baju saya sendiri?
a)
ya….(-5) b) Tidak….0
4. 50% dari
baju saya adalah baju turunan?
a)
ya….(-5) b) tidak….0
5. Saya
membersihkan dan mengeringkan baju?
a)
none….0 b) 1-5 lembar….10 c) lebih dari 6 lembar...... 20
Nilaiku 25
Sub-total: 25
D. Rekreasi
Mengenali permainan, olahraga, dan aktivitas dimana anda
terlibat, pada hari biasa di waktu senjang.
1. Seberapa
banyak peralatan yg diperlukan ?
a)
tidak ada atau sedikit..0 b) beberapa….1x 10 c) cukup
banyak….20
2. Seberapa luas lahan yg dibutuhkan untuk bermain di lapangan, dataran
es, kolam renang, untuk memenuhi kebutuhan rekreasi anda?
a)
tidak ada atau sedikit….0 b) sedang (<1 hektar) 1x 10
c) cukup besar (>hektar)…20
(Lihat tabel konversi pada akhir kuis untuk
bantuan)
3.
Saya menghabiskan uang hari ini untuk belanja (pakaian,
baju, peralatan olahraga)?
a) Tidak
ada….0 b)$5…5 c)$10…10
c)$10+…1 pt. per dollar
Nilaiku 25
Sub-Total: 25
E.
Makanan
1. Berapa porsi
daging yang dimakan sehari?
a)
0….0 b) 1 porsi….1x 10 c) 2 porsi….20 d) 3 porsi….30
2. Seberapa
banyak makan bersisa di piring?
a)
tidak ada…0 b) sedikit….5 c) cukup banyak….10
3. Saya
mengkonsumsi campuran sisa sayur dan buah?
a)
ya….0 b)
tidak….1x 10
4. Makanan yg
saya makan adalah makanan lokal?
a) semuanya….0 b)
beberapa...1x 10 c)
tidak ada….20
5. Makanan yg
saya makan adalah produk organik?
a)
semuanya….0 b) beberapa..1x 10 c) tidak
ada….20
6. Makanan yg dikonsumsi dibungkus plastik/kertas
a)
Tidak….0 b) beberapa….1x 10 c) Semuanya….20
Nilaiku 40
Sub-Total: 40
F. Sampah
1. Jika saya
membuang seluruh sampah pd hari ini, seberapa
besar penampungan sampahnya?
a)
peti kayu….30
b) kotak sepatu….1x 20
c)
secangkir….5
d)
tidak ada sampah….0
Nilaiku 20
Sub-Total: 20
Add Sub-Totals of
“A-F” for Total 1: 220
G. Ruang Tinggal
1.
Hitung dalam satuan meter persegi ruang indoor yg diperlukah dlm keseharian. Termasuk semua
ruangan di rumah (termasuk garasi), sekolah (kantin, kelas), kantor (ruang
kantor pribadi, area kerja, toilet). Bagi luas total ruangan dg jumlah orang di
dalamnya.
Contoh:
Living Space
Averages Educ. Space/Per Student
Ave. Dorrm Space – 25 sq m Classroom & Lab – 30 sq m
Ave. Apt. space
- 35 sq m Administration - 3
sq m
Other
- 5 sq m
Add up “a-d” for “Total Square Meters”.
(1 sq. meter = 10 sq. feet)
a) “Home” sq. meters = 200
divided by # of people = 40 Sq meters
b) School sq.
meters = __________________
divided by #
of people = __________________ Sq meters
c) Office sq. meters = 100
divided by # of people = 8 Sq meters
d) other sq.
meters = __________________
divided by #
of people = __________________ Sq meters
Nilaiku 48
Total 2: 48
TOTAL
KESELURUHAN= (Total 1 + Total 2) X 3
( 220+48)
X 3 = 268x 3 = 804
Saya telah menghitung total dari ‘tiga’ tipikal
keseharian saya. Sekarang saya akan mengubah total keseluruhan tsb menjadi
jejak ekologis pribadi saya, menggunakan rumus dibawah:
Total keseluruhan
dibagi 100 = jejak ekologis anda dalam satuan hektar
JEJAK EKOLOGIS
PRIBADI = 8,04 HEKTAR
Conversion
Table:
1 hectare = a square 100 meters on each
side
(about the size of the parking lot just
outside this building)
1 hectare = 2.5 acres
640 acres = 1 sq. mile
1 sq. mile = 259 hectares
Warrensburg occupies about 4 sq. miles.
Jejak ekologis saya 8,04 Hektar ini artinya dalam
kehidupan saya, saya sudah banyak
menggunakan lahan/ hektar dalam satu tahun
yang rata-rata = 1 ha. Jejak saya 8 kali lebih dari rata-rata yang
digunakan manusia di permukaan bumi.
Setiap makhluk, manusia, binatang atau
tumbuhan, merindukan kehidupan. Akan tetapi, tidak ada makhluk yang mampu
memuaskan nafsu kehidupannya tanpa membatasi kualitas kehidupan makhluk yang
lain. Jejak ekologis menghitung luasnya tanah subur, air tawar, lautan, dan
banyaknya energi yang tidak terbarukan dan yang dibutuhkan manusia untuk
memenuhi kebutuhan atas pangan, sandang, papan, serta mobilitas.
Berdasarkan
perhitungan jejak ekologis, maka saya telah menyumbang sekitar 6,99 hektar
selama satu tahun, mulai dari untuk makan, papan,
sandang, pendidikan, transportasi, dll. Dengan pemahaman terhadap jejak
ekologis tersebut, bahwa saya sebagai manusia yang ada di muka bumi ini telah
menambah beban kepada bumi, saya belum beretika dengan lingkungan dan berakhlak
terhadap Tuhan, lingkungan dan sesama makhluk.
Setelah mengetahui jejak ekologi, kita dapat
mendukung keberlanjutan bumi ini dengan cara mengurangi kegiatan konsumsi kita
pada sumber daya yang ada sehingga mendukung lingkungan hidup, supaya dapat
beretika terhadap lingkungan dan berakhlak terhadap Tuhan, lingkungan dan
sesama makhluk.
BAB III
PENUTUP
Di sisi pengguna, semakin tingginya konsumsi
dari manusia diakibatkan terjangan kepentingan industri, dimana setiap
melangkahkan kaki tak akan mampu lagi melepaskan diri dari iklan dan
advertising yang membujuk untuk terus melakukan konsumsi secara berlebih. Gaya
hidup manusia digiring ke arah konsumerisme. Semakin banyak pula penggunakan
produk yang tidak diperlukan, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah barang
yang tak tergunakan (sampah).
Lebih parah lagi, sistem yang dibangun dalam
proses pembangunan juga tak pernah memperhatikan efisiensi dan efektifitas.
Misal saja teknologi nir-kertas hingga saat ini masih harus kalah bersaing
dengan penggunaan sistem kerja yang menggunakan banyak kertas. Mulai dari
selembar kertas disposisi (rujukan) hingga mekanisme perijinan yang
menghabiskan berjuta ton kertas setiap tahunnya, yang akan berimbas pada
semakin meningkatnya penebangan pepohonan di kawasan hutan.
Ketika tak ada lagi air bersih, ikan di
sungai, padi di sawah, hingga tak ada lagi buah-buahan di pepohonan, mungkin
baru akan menyadarkan penghuni bumi saat ini untuk tidak berbuat yang merugikan
bagi alam. Bahkan pelayan publik (pemerintah) mungkin belum juga akan
tersadarkan, hingga tidak ada lagi rakyat yang akan dilayaninya karena
kelaparan, keracunan dan bencana ekologi.
Bila tidak dilakukan upaya perbaikan dalam
memanfaatkan aset alam saat ini, maka bisa jadi penghancuran kehidupan akan terjadi
lebih cepat dari yang terbayangkan. Perlombaan untuk bertahan hidup akan
terjadi. Persengketaan antar bukan lagi masalah kebanggaan semata, namun hanya
demi memperebutkan setetes air bersih untuk diminum, sebutir beras untuk
ditanak ataupun demi selembar tissue untuk menyeka keringat.
Etika kehidupan harus kembali dikedepankan
dalam ruang bijak terhadap alam. Agar kemudian alam tak lagi memusuhi kehidupan
manusia. Agar alam mampu menyediakan kebutuhan seluruh manusia. Juga bagi alam
agar mampu terus beregenerasi dengan lebih baik.

BalasHapusBandar Bola live – Dunia Olahraga memang tidak bisa lepas dari rutinitas kita sehari-hari termasuk bidang Olahraga Sepak bola tentunya
http://167.114.18.199/
http://167.114.18.208/
http://167.114.18.209/
https://pasangbola828.com/
https://www.maju88bet.com/
https://www.betasik.com/
http://172.93.101.13/